Tuesday, 26 May 2015

Komunikasi Politik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Kegiatan politik saat ini merupakan sebuah hal umum yang menjadi makanan sehari-hari masyarakat luas atau dalam kata lain disebut dengan publik. Melihat semakin menggeliatnya hal-hal yang berhubungan dengan politik, maka semakin diperlukannya pemahaman tentang politik dan bagaimana komunikasi politik itu sebenarnya. Merujuk pada pemahaman Harold D. Laswell, jika komunikasi terdiri dari unsur-unsur seperti komunikator, pesan, saluran/media, komunikan dan efek. Maka dalam komunikasi politik pun melibatkan unsur-unsur tersebut sebagai kajian utamanya.
            Sebagai seorang masyarakat dari suatu pemerintahan, maka kita pastilah terlibat dalam sebuah kegiatan politik. Baik itu kita berperan sebagai komunikator komunikasi politik ataukah sebagai komunikan/khalayak komunikasi politik.
            Mungkin dalam makalah ini kami ingin membahas lebih dalam mengenai peran masyarakat sebagai khalayak komunikasi politik, karena pasti mayoritas dari kita berperan sebagai khalayak dari sebuah kegiatan komunikasi politik. Untuk membangun negara kita menjadi negara yang lebih baik maka kita harus menjadi khalayak komunikasi yang baik pula. Oleh sebab itu, pengetahuan dan pemahaman tentang khalayak komunikasi politik haruslah menjadi sebuah poin penting yang diharapkan bisa menjadikan masyarakat kita sebagai khalayak komunikasi politik yang pintar dalam melakoni kegiatan-kegiatan politiknya.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang ada di latar belakang masalah, yang menjadi fokus permasalahan kami adalah:
1.      Apa itu khalayak komunikasi politik
2.      Khalayak dilihat dari berbagai perspektif
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan respon khalayak
4.      Bagaimana khalayak komunikasi yang ideal

1.3  Tujuan
            Dengan pembahasan materi dalam makalah ini diharapkan kita bisa mengerti dan memahami apa dan bagaimana khalayak komunikasi politik itu sebenarnya, juga sebagai masyarakat kita bisa menjadi khalayak politik yang pintar dalam menentukan langkah-langkah yang akan diambil dalam sebuah kegiatan politik. Selain itu apabila kita berposisi sebagai komunikator politik, maka bisa mempertimbangkan pesan-pesan politik yang akan kita sampaikan karena kita telah mengerti tentang khalayak politik yang menjadi tujuan kita.












BAB II
PEMBAHASAN

1.        Tentang Khalayak Komunikasi Politik
            Khalayak adalah sejumlah orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi politik segera setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo berpandangan jika opini publik adalah abstraksi dari khalayak komunikasi politik (Dan Nimmo, 2010). Khalayak sering diartikan sebagai masyarakat luas atau kadangkala juga disebut sebagai publik.
Hennesy (dalam Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik, membedakan publik sebagai berikut: (adiprakosa.blogspot.com)
a.       publik umum (general public)
b.      publik yang penuh perhatian (the attentive public)
c.       elit opini dan kebijakan (the leadership public)
Elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik, karena lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang berlangsung. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat.
Selain pengelompokan publik menurut Hannesy, khalayak komunikasi politik juga dibagi kedalam beberapa kelompok menurut peneliitan Almond dan Verba (dalam Nasution 1988). (adiprakosa.blogspot.com)
Khalayak komunikasi politik tersebut dikelompokan menjadi high subjective political competence, medium political competence, dan low competence. Mereka yang termasuk tinggi dalam skala subjective competence-nya ternyata besar sekali kemungkinannya merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya dikenai (exposed) komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective competence oleh Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang berkemungkinan tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi politik, melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam proses komunikasi politik itu sendiri.
2.        Khalayak Menurut Perspektif Individual dan Sosio-Kultural
Johnston dalam The Art & Science Persuasion (1994) menyatakan bahwa ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya. Yang pertama disebut perspektif individual dan kedua adalah perspektif sosiokultural.
a.      Perspektif individual
Perspektif individual melihat khalayak sebagai individu yang memiliki pandangan pribadi tentang dunia berdasarkan karakteristik personal yang dimilikinya. Menurut perspektif ini, efek dari pesan-pesan persuasif sulit diperkirakan. Bagaimanapun hebatnya pelaku kampanye, khalayak tidak akan begitu saja menuruti apa yang dikatakan mereka. Alasannya karena khalayak memiliki kemampuan untuk mengacuhkan, menolak bahkan memberi interpretasi apapun (walaupun salah) atas pesan yang disampaikan pelaku kampanye. Khalayak adalah individu-individu yang berpikir, memiliki perasaan, mengevaluasi, menentukan, beraksi dan bereaksi atas sesuatu. Karena alasan-alasan ini maka pesan-pesan kampanye akan dipersepsi secara berbeda oleh tiap individu dan akhirnya menghasilkan efek yang beragam pula.

b.      Perspektif sosio-kultural
Dalam perspektif sosio-kultural, khalayak sebagai produk budaya, dimana faktor-faktor di luar dirinya (faktor eksternal dan situasional) sangat memengaruhi respons dan perilaku yang muncul. Perspektif ini memandang pesan-pesan kampanye dapat menimbulkan efek yang relatif seragam pada khalayaknya berdasarkan asumsi bahwa khalayak adalah kumpulan orang orang yang saling berinteraksi dan saling berbagi keyakinan, nilai dan norma-norma budaya.  Khalayak dipandang sebagai produk budaya tertentu, yang di dalamnya terdapat berbagai sub-sub budaya (seperti ABRI, waria, kelompok pertemanan atau sub budaya petani). Maka cenderung  merespons pesan kampanye berdasarkan acuan normatif (budaya) yang mereka miliki bersama.
3.        Faktor-Faktor Pribadi yang Mempengaruhi Persepsi dan Respon Khalayak
Berbagai temuan di bidang psikologi, khususnya yang terkait dengan studi tentang persepsi menyimpulkan bahwa sebagian besar orang akan menanggapi informasi yang menerpa mereka berdasarkan keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki. Karena pentingnya ketiga konstruk psikologis ini dalam menentukan cara seseorang bereaksi terhadap stimulus atau pesan tertentu, maka akan sangat bermanfaat bila pada bagian ini dibicarakan ketiga aspek tersebut secara rinci.
Pembahasan akan dimulai dengan menganalisis konsep keyakinan, sikap dan nilai secara berturut-turut lalu dilengkapi dengan konsep kepribadian dan kebutuhan khalayak yang menurut Ferguson (1999) juga memberikan pengaruh signifikan terhadap cara orang meresepsi dan merespons sebagai stimulus yang hadir.
a.         Keyakinan
“A belief is an assertion we perceive to be true”, demikian ungkap Johnston (1994). Jadi keyakinan adalah pernyataan yang kita persepsi sebagai sesuatu yang benar. Keyakinan umumnya merujuk pada dua objek kognitif yang saling berkaitan dimana yang satu menerangkan yang lain. Pernyataan-pernyataan seperti; “Bumi ini bulat”, “Manusia memiliki kebebasan kehendak”, “Manusia adalah aset perusahaan”, merupakan contoh keyakinan yang mempertalikan dua objek kognitif.
Dari contoh-contoh di atas, dapat didefinisikan tiga ciri pokok keyakinan yakni (1) keyakinan dapat beragam kekuatannya karena konstruk ini bersifat probabilistik, (2) keyakinan yang ada berkaitan dengan sistem keyakinan (belief system), dan (3) keyakinan memiliki berbagai lapisan yang masing-masing mengindikasikan jenis keyakinan yang berbeda. Setiap orang mempunyai apa yang disebut keyakinan (belief systems) yang berfungsi sebagai penyaring berbagai rangsangan yang menerpa dirinya.
Menurut Rokeach, (Johnston, 1994; Ferguson, 1999), setiap individu pada dasarnya memiliki lima lapisan keyakinan mulai dari yang paling dalam (core beliefs) hingga yang paling luar (peripheral beliefs). Rokeach menganalogikan kelima pesan keyakinan tersebut dengan sebuah bawang yang memiliki kulit berlapis-lapis.
Lapisan keyakinan yang pertama disebut inconsequential beliefs atau keyakinan yang tidak memiliki konsekuensi apapun. Keberlangsungan keyakinan pada bagian ini tidak membutuhkan konsensus sosial, dalam arti kita tidak membutuhkan pandangan atau perbandingan dengan orang lain ketika hendak mengubah konsep keyakinan yang berada pada lapisan ini. Karena itu lapisan bagian ini yang paling siap merespons pesan-pesan persuasi yang menerpa seseorang dan lapisan ini pula yang paling terbuka untuk perubahan.
Lapisan yang kedua disebut derived beliefs yang didasarkan pada pemegang otoritas sebagai pejabat pemerintah, polisi, politikus, media massa bahkan teman yang memiliki kredibilitas di mata kita. Karena kita mempercayai mereka, maka kita menerima keyakinan yang muncul dari mereka.
Authority beliefs adalah lapisan yang berada di bagian tengah dari kelima lapisan keyakinan yang ada. Konsep keyakina ini sangat spesifik karena berkaitan dengan ‘siapa orang yang patut kita percayai dan siapa saja yang tidak’. Setiap orang termasuk anak-anak dapat menaruh kepercayaan pada seseorang yang memiliki otoritas tertentu dan pada pemegang otoritas lainnya.
Berikutnya adalah lapisan yang keempat, yakni yang disebut primitive-without-consensus beliefs. Ini adalah bagian dari lapisan inti atau core beliefs. Lapisan ini sukar berubah karena terdiri dari konsep-konsep keyakinan yang secara pribadi kita percayai benar dan kita tidak memerlukan konsensus untuk meyakininya. Jenis keyakinan ini berpusat pada diri sendiri (ego centered).
Terakhir adalah primitive-with-consensus beliefs yakni keyakinan yang merupakan inti dari sistem keyakinan (central core beliefs) yang kita miliki. Kita memperoleh keyakinan ini ketika kita masih sangat muda dan secara berkelanjutan kita memantapkan keyakinan ini sepanjang hidup kita. Hal ini dimungkinkan karena tingkat konsistensi keyakinan ini sangat tinggi.
b.             Sikap
Sikap adalah salah satu topik dalam studi perilaku manusi yang paling banyak dikaji secara mendalam. Sikap dapat didefinisikan sebagai ‘kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu baik secara positif maupun negatif dengan mendasarkan diri pada keyakinan-keyakinan yang terorganisasi’.
Dari definisi tersebut dapat diidentifikasi empat aspek penting dari sikap. Pertama sikap memiliki dimensi afektif. Komponen perasaan atau afektif ini menjadi karakteristik utama sikap. Aspek inilah yang muncul ketika kita mengevaluasi objek sosial dalam kategori baik-buruk, kuat-lemah, aktif-pasif dan seterusnya.
Kedua, sikap adalah keyakinan-keyakinan yang terorganisasi. Sikap seseorang terhadap objek atau orang tertentu tidak didasarkan pada keyakinan yang tunggal, melainkan berlandaskan pada sekumpulan keyakinan. Ketika keyakinan-keyakinan yang saling berkaitan digabungkan terbentuklah sikap.
Ketiga, sikap bersifat relatif menetap. Pada dasarnya sikap itu relatif stabil dan sulit untuk berubah. Namun demikianbukan berarti sikap tidak dapat diubah. Kita dapat melakukannya dengan cara terlebih dahulu mengubah keyakinan (atau juga nilai) yang mendasari sikap seseorang.
Keempat, sikap merefleksikan komponen behavioral dari keyakinan-keyakinan individu. Sikap merefleksikan kombinasi keyakinan sekitar objek atau situasi yang merepresentasikan kecenderungan untuk merespons. Begitu kecenderungan terbentuk maka ia akan memandu perilaku kita ketika menghadapi objek sikap yang sama.
Dari uraian di atas kita melihat betapa sikap memiliki keterkaitan yang erat dengan keyakinan. Dengan demikian, sikap memberikan warna pada persepsi dan interpretasi kita tentang objek sosial tertentu.


c.              Nilai
Secara sederhana, nilai adalah sesuatu yang ideal yang dikehendaki baik secara personal maupun sosial. Nilai membimbing sikap atau perilaku seseorang atau masyarakat kepada sesuatu yang mulia yang diyakini menjadi tujuan akhir tindakan. Rokeach (Perloff, 1993) membedakan nilai menjadi dua yakni terminal values dan instrumental values.
Jenis nilai yang pertama berkaitan dengan ukuran tujuan akhir yang didasarkan pada eksistensi. Nilai seperti ini biasanya diwujudkan dalam pernyataan singkat seperti kebebasan, keadilan, kesejahteraan, kemajuan dan persamaan. Sementara jenis nilai yang kedua adalah nilai instrumental. Nilai ini berkaitan dengan cara bertindak yang diharapkan dari seseorang atau masyarakat dalam kerangka terminal values. Nilai-nilai tersebut dapat meliputi; kerja keras, pikiran terbuka, kegembiraan, percaya diri, sopan-santun, logis, kejujuran hingga kemauan untuk memaafkan.
d.             Kebutuhan
Kebutuhan, ujar Morreale & Bovee (1998) adalah persepsi kita tentang kesenjangan yang ada antara apa yang kita punyai (what we have) dengan apa yang sepatutnya kita punyai (what we like to have), antara ‘dimana kita’ (where we are) dengan ‘dimana kita hendaknya berada’ (Where we’d like to be).
Abraham Maslow berteori bahwa orang mempunyai hierarki kebutuhan untuk bertindak; jika ia memenuhi kebutuhan pada satu tingkat, muncullah tingkat kebutuhan yang lain. Bagi Maslow, hierarki itu terdiri atas lima kebutuhan manusia sebagai berikut.
1)     Fisiologis: makanan, pakaian, perumahan, udara, air, keturunan, dsb.
2)     Keamanan dan keterjaminan: jaminan kesejahteraan, perlindungan terhadap serangan, dsb.
3)     Cinta dan kebersamaan: afeksi, kebersamaan dengan orang lain, dsb.
4)     Penghargaan: merasa diri berharga dan mampu.
5)     Aktualisasi diri: rasa pemenuhan diri, kontrol atas lingkungan dan nasib sendiri, dan kemampuan mencapai sesuatu yang diharapkan.



e.              Kepribadian
Faktor terakhir yang memengaruhi perilaku manusia adalah kepribadian. Assael (1998)  mengartikan kepribadian sebagai pola perilaku individu yang konsisten dan relatif permanen (personality is defined as patterns of individual behavior that are consistent and enduring).
4.             Faktor Situasional yang Mempengaruhi Khalayak
Di samping faktor-faktor pribadi seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan kepribadian khalayak, pada kenyataanya, individu juga dipengaruhi oleh berbagai faktor situasional ketika mereka menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan efek yang berbeda apabila disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil orang. Namun bila pesan tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang tidak terorganisasi atau kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Dalam situasi kerumunan, seseorang menjadi mudah menerima pengaruh atau mudah atau mudah dipengaruhi baik oleh pesan, komunikator atau oleh situasi apapun yang tidak terduga. Pada kumpulan orang yang seperti ini maka terjadi apa yang disebut propagation effect (efek perambatan) dimana reaksi yang muncul sifatnya saling menguatkan dan merambt secara cepat. Dengan kata lain, mereka cenderung akan memunculkan reaksi yang kuat dan seragam.
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan hilangnya batasan-batasan yang jelas dalam kerumunan:
1.         Pendistribusian tanggung jawab terjadi di anatar banyak orang, tidak pada satu orang;
2.         Adanya sesuatu yang mengalihkan perhatian semua orang, sehingga mereka tidak dapat berpikir jernih dan melakukan pertimbangan tertentu terlebih dahulu;
3.         Hasilnya adalah perbuatan pada perilaku orang-orang tersebut menjadi perilaku kerumunan sebagai perilaku normatif bagi mereka.
Seseorang yang berada dalam kerumunan massa tidak dapat melihat dan menindaklanjuti semua kejadian dengan objektif. Bahkan orang itu akan lebih mempercayai informasi apapun yang ada dalam kerumunan tersebut, dari pada informasi yang telah dibuktikan dengan pengalamannya sendiri.
Maraknya aksi demonstrasi mahasiswa sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, sering kali memakan korban baik di pihak keamanan maupun dipihak mahasiswa sendiri. Hal ini dipicu oleh terjadinya bentrokan fisik sebagai momok yang ditakuti oleh kedua belah pihak. Mahasiswa yang menyandang sebutan insan intelektual, tiba-tiba bereaksi seperti anak sekolah yang gemar tawuran. Di sisi lain, aparat keamanan yang sebelumnya dilatih untuk mengikuti prosedur pengamanan tertentu secara sistematis, seolah-olah menjadi bodoh dan lupa dengan segala yang dipelajarinya selama pendidikan. Setiap orang seolah kehilangan identitas dirinya dan bertindak menurut pemicu awal yang muncul dalam kerumunan tersebut. Hasilnya, pemicu awal yang negatif akan memprovokasi keseragaman tindakan negatif pula, dan terjadilah kekacauan dan kekerasan yang memakan korban jiwa.
5.             Khalayak Komunikasi Politik yang Ideal
Baik dari sudut pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi terdapat persamaan gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara ciri itu adalah bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk mengikuti perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses komunikasi dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi, interpretasi, dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk berlangsungnya komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai akses informasi yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun melalui media massa. Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan rasa ingin tahu atau rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyarakat dan negaranya. Dalam hubungan ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu mereka itu telah terlibat dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik dalam arti luas ditetapkan.
Kemauan anggota masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan suatu tingkat keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup suatu rasa kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus rasa kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan politik dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang terbatas. Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi tidak akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan keadaan dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi kewargaan negara.
Memang dapat dipahami mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih sangat sedikit ditemukan pada masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh. Karena itu untuk sampai pada keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu harus dipenuhi berbagai persyaratan. Di antara faktor yang menentukan adalah, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai, pengenaan media, dan tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti apakah terdapat iklim sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut serta dalam gerak perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.










BAB III
PENUTUP
1.             Kesimpulan
Khalayak adalah sejumlah orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi politik segera setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo berpandangan jika opini publik adalah abstraksi dari khalayak komunikasi poliitk (Dan Nimmo, 2010). Khalayak sering diartikan sebagai masyarakat luas atau kadangkala juga disebut sebagai publik.
Publik dibedakan menjadi tiga berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik. Yang pertama publik umum (general public), kedua, publik yang penuh perhatian (the attentive public) dan yang terakhir elit opini dan kebijakan (the leadership public).
Ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya. Yang pertama disebut perspektif individual dan kedua adalah perspektif sosiokultural. Perspektif individual melihat khalayak sebagai individu yang memiliki pandangan pribadi tentang dunia berdasarkan karakteristik personal yang dimilikinya, sedangkan Dalam perspektif sosio-kultural, khalayak sebagai produk budaya, dimana faktor-faktor di luar dirinya (faktor eksternal dan situasional) sangat memengaruhi respons dan perilaku yang muncul.
Dalam mempersepsikan dan merespon suatu pesan, misalnya pesan politik. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi khalayak. Faktor itu bisa berupa faktor yang berasal dari individu khalayak ataupun faktor yang timbul secara situasional. Faktor-faktor pribadi itu seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan kepribadian khalayak. Individu juga dipengaruhi oleh berbagai faktor situasional ketika mereka menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan efek yang berbeda apabila disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil orang. Namun bila pesan tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang tidak terorganisasi atau kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Disini bisa disimpulkan jika khalayak komunikasi politik merupakan publik yang kompleks dan heterogen. Hal ini bisa dilihat dari segmentasi khalayak komunikasi politik yang dibagi kedalam beberapa kelompok. Jadi, pemahaman mengenai khalayak dan segmentasinya merupakan sebuah modal dalam melakukan kegiatan komunikasi politik.


DAFTAR PUSTAKA
Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Venus, Antar. 2009. Manajemen Kampanye. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

http://adiprakosa.blogspot.com/2010/04/kompol7.html (diakses pada tanggal 11-03-2013)

No comments:

Post a Comment