BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan
politik saat ini merupakan sebuah hal umum yang menjadi makanan sehari-hari
masyarakat luas atau dalam kata lain disebut dengan publik. Melihat semakin
menggeliatnya hal-hal yang berhubungan dengan politik, maka semakin
diperlukannya pemahaman tentang politik dan bagaimana komunikasi politik itu
sebenarnya. Merujuk pada pemahaman Harold D. Laswell, jika komunikasi terdiri
dari unsur-unsur seperti komunikator, pesan, saluran/media, komunikan dan efek.
Maka dalam komunikasi politik pun melibatkan unsur-unsur tersebut sebagai
kajian utamanya.
Sebagai
seorang masyarakat dari suatu pemerintahan, maka kita pastilah terlibat dalam
sebuah kegiatan politik. Baik itu kita berperan sebagai komunikator komunikasi
politik ataukah sebagai komunikan/khalayak komunikasi politik.
Mungkin
dalam makalah ini kami ingin membahas lebih dalam mengenai peran masyarakat
sebagai khalayak komunikasi politik, karena pasti mayoritas dari kita berperan
sebagai khalayak dari sebuah kegiatan komunikasi politik. Untuk membangun
negara kita menjadi negara yang lebih baik maka kita harus menjadi khalayak
komunikasi yang baik pula. Oleh sebab itu, pengetahuan dan pemahaman tentang
khalayak komunikasi politik haruslah menjadi sebuah poin penting yang
diharapkan bisa menjadikan masyarakat kita sebagai khalayak komunikasi politik
yang pintar dalam melakoni kegiatan-kegiatan politiknya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian yang ada di latar belakang masalah, yang menjadi fokus permasalahan kami
adalah:
1. Apa
itu khalayak komunikasi politik
2. Khalayak
dilihat dari berbagai perspektif
3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi persepsi dan respon khalayak
4. Bagaimana
khalayak komunikasi yang ideal
1.3 Tujuan
Dengan
pembahasan materi dalam makalah ini diharapkan kita bisa mengerti dan memahami
apa dan bagaimana khalayak komunikasi politik itu sebenarnya, juga sebagai
masyarakat kita bisa menjadi khalayak politik yang pintar dalam menentukan
langkah-langkah yang akan diambil dalam sebuah kegiatan politik. Selain itu
apabila kita berposisi sebagai komunikator politik, maka bisa mempertimbangkan
pesan-pesan politik yang akan kita sampaikan karena kita telah mengerti tentang
khalayak politik yang menjadi tujuan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tentang Khalayak Komunikasi
Politik
Khalayak
adalah sejumlah orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi
politik segera setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo
berpandangan jika opini publik adalah abstraksi dari khalayak komunikasi politik
(Dan Nimmo, 2010). Khalayak sering diartikan sebagai masyarakat luas atau
kadangkala juga disebut sebagai publik.
Hennesy (dalam
Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik,
membedakan publik sebagai berikut: (adiprakosa.blogspot.com)
a.
publik
umum (general public)
b.
publik
yang penuh perhatian (the attentive public)
c.
elit
opini dan kebijakan (the leadership public)
Elit opini dan
kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah
kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan publik
attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi
antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan
suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk,
dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik attentive
merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik, karena
lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi
dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Para
politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik
attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan
oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di
antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu
merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan
politik yang berlangsung. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang
berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor
yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat.
Selain pengelompokan
publik menurut Hannesy, khalayak komunikasi politik juga dibagi kedalam
beberapa kelompok menurut peneliitan Almond dan Verba (dalam Nasution 1988).
(adiprakosa.blogspot.com)
Khalayak komunikasi
politik tersebut dikelompokan menjadi high subjective political competence,
medium political competence, dan low competence. Mereka yang termasuk tinggi
dalam skala subjective competence-nya ternyata besar sekali kemungkinannya
merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya dikenai (exposed)
komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective competence oleh
Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang berkemungkinan
tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi politik,
melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam proses komunikasi
politik itu sendiri.
2.
Khalayak Menurut Perspektif
Individual dan Sosio-Kultural
Johnston dalam The Art &
Science Persuasion (1994) menyatakan bahwa ada dua perspektif yang dapat
digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya. Yang pertama disebut
perspektif individual dan kedua adalah perspektif sosiokultural.
a.
Perspektif individual
Perspektif individual
melihat khalayak sebagai individu yang memiliki pandangan pribadi tentang dunia
berdasarkan karakteristik personal yang dimilikinya. Menurut perspektif ini,
efek dari pesan-pesan persuasif sulit diperkirakan. Bagaimanapun hebatnya
pelaku kampanye, khalayak tidak akan begitu saja menuruti apa yang dikatakan
mereka. Alasannya karena khalayak memiliki kemampuan untuk mengacuhkan, menolak
bahkan memberi interpretasi apapun (walaupun salah) atas pesan yang disampaikan
pelaku kampanye. Khalayak adalah individu-individu yang berpikir, memiliki
perasaan, mengevaluasi, menentukan, beraksi dan bereaksi atas sesuatu. Karena
alasan-alasan ini maka pesan-pesan kampanye akan dipersepsi secara berbeda oleh
tiap individu dan akhirnya menghasilkan efek yang beragam pula.
b.
Perspektif sosio-kultural
Dalam perspektif
sosio-kultural, khalayak sebagai produk budaya, dimana faktor-faktor di luar
dirinya (faktor eksternal dan situasional) sangat memengaruhi respons dan
perilaku yang muncul. Perspektif ini memandang pesan-pesan kampanye dapat
menimbulkan efek yang relatif seragam pada khalayaknya berdasarkan asumsi bahwa
khalayak adalah kumpulan orang orang yang saling berinteraksi dan saling
berbagi keyakinan, nilai dan norma-norma budaya. Khalayak dipandang
sebagai produk budaya tertentu, yang di dalamnya terdapat berbagai sub-sub
budaya (seperti ABRI, waria, kelompok pertemanan atau sub budaya petani). Maka
cenderung merespons pesan kampanye berdasarkan acuan normatif
(budaya) yang mereka miliki bersama.
3.
Faktor-Faktor Pribadi yang
Mempengaruhi Persepsi dan Respon Khalayak
Berbagai temuan di
bidang psikologi, khususnya yang terkait dengan studi tentang persepsi
menyimpulkan bahwa sebagian besar orang akan menanggapi informasi yang menerpa
mereka berdasarkan keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki. Karena
pentingnya ketiga konstruk psikologis ini dalam menentukan cara seseorang
bereaksi terhadap stimulus atau pesan tertentu, maka akan sangat bermanfaat
bila pada bagian ini dibicarakan ketiga aspek tersebut secara rinci.
Pembahasan akan
dimulai dengan menganalisis konsep keyakinan, sikap dan nilai secara
berturut-turut lalu dilengkapi dengan konsep kepribadian dan kebutuhan khalayak
yang menurut Ferguson (1999) juga memberikan pengaruh signifikan terhadap cara
orang meresepsi dan merespons sebagai stimulus yang hadir.
a.
Keyakinan
“A belief is an
assertion we perceive to be true”, demikian ungkap Johnston (1994). Jadi keyakinan
adalah pernyataan yang kita persepsi sebagai sesuatu yang benar. Keyakinan
umumnya merujuk pada dua objek kognitif yang saling berkaitan dimana yang satu
menerangkan yang lain. Pernyataan-pernyataan seperti; “Bumi ini bulat”,
“Manusia memiliki kebebasan kehendak”, “Manusia adalah aset perusahaan”,
merupakan contoh keyakinan yang mempertalikan dua objek kognitif.
Dari contoh-contoh di
atas, dapat didefinisikan tiga ciri pokok keyakinan yakni (1) keyakinan dapat
beragam kekuatannya karena konstruk ini bersifat probabilistik, (2) keyakinan
yang ada berkaitan dengan sistem keyakinan (belief system), dan (3) keyakinan
memiliki berbagai lapisan yang masing-masing mengindikasikan jenis keyakinan
yang berbeda. Setiap orang mempunyai apa yang disebut keyakinan (belief
systems) yang berfungsi sebagai penyaring berbagai rangsangan yang menerpa
dirinya.
Menurut Rokeach,
(Johnston, 1994; Ferguson, 1999), setiap individu pada dasarnya memiliki lima
lapisan keyakinan mulai dari yang paling dalam (core beliefs) hingga yang
paling luar (peripheral beliefs). Rokeach menganalogikan kelima pesan keyakinan
tersebut dengan sebuah bawang yang memiliki kulit berlapis-lapis.
Lapisan keyakinan
yang pertama disebut inconsequential beliefs atau keyakinan yang tidak memiliki
konsekuensi apapun. Keberlangsungan keyakinan pada bagian ini tidak membutuhkan
konsensus sosial, dalam arti kita tidak membutuhkan pandangan atau perbandingan
dengan orang lain ketika hendak mengubah konsep keyakinan yang berada pada
lapisan ini. Karena itu lapisan bagian ini yang paling siap merespons
pesan-pesan persuasi yang menerpa seseorang dan lapisan ini pula yang paling
terbuka untuk perubahan.
Lapisan yang kedua
disebut derived beliefs yang didasarkan pada pemegang otoritas sebagai pejabat
pemerintah, polisi, politikus, media massa bahkan teman yang memiliki
kredibilitas di mata kita. Karena kita mempercayai mereka, maka kita menerima
keyakinan yang muncul dari mereka.
Authority beliefs
adalah lapisan yang berada di bagian tengah dari kelima lapisan keyakinan yang
ada. Konsep keyakina ini sangat spesifik karena berkaitan dengan ‘siapa orang
yang patut kita percayai dan siapa saja yang tidak’. Setiap orang termasuk
anak-anak dapat menaruh kepercayaan pada seseorang yang memiliki otoritas
tertentu dan pada pemegang otoritas lainnya.
Berikutnya adalah
lapisan yang keempat, yakni yang disebut primitive-without-consensus beliefs.
Ini adalah bagian dari lapisan inti atau core beliefs. Lapisan ini sukar
berubah karena terdiri dari konsep-konsep keyakinan yang secara pribadi kita
percayai benar dan kita tidak memerlukan konsensus untuk meyakininya. Jenis
keyakinan ini berpusat pada diri sendiri (ego centered).
Terakhir adalah
primitive-with-consensus beliefs yakni keyakinan yang merupakan inti dari
sistem keyakinan (central core beliefs) yang kita miliki. Kita memperoleh
keyakinan ini ketika kita masih sangat muda dan secara berkelanjutan kita
memantapkan keyakinan ini sepanjang hidup kita. Hal ini dimungkinkan karena
tingkat konsistensi keyakinan ini sangat tinggi.
b.
Sikap
Sikap adalah salah
satu topik dalam studi perilaku manusi yang paling banyak dikaji secara
mendalam. Sikap dapat didefinisikan sebagai ‘kecenderungan untuk bertindak
terhadap objek tertentu baik secara positif maupun negatif dengan mendasarkan
diri pada keyakinan-keyakinan yang terorganisasi’.
Dari definisi
tersebut dapat diidentifikasi empat aspek penting dari sikap. Pertama sikap
memiliki dimensi afektif. Komponen perasaan atau afektif ini menjadi
karakteristik utama sikap. Aspek inilah yang muncul ketika kita mengevaluasi
objek sosial dalam kategori baik-buruk, kuat-lemah, aktif-pasif dan seterusnya.
Kedua, sikap adalah
keyakinan-keyakinan yang terorganisasi. Sikap seseorang terhadap objek atau
orang tertentu tidak didasarkan pada keyakinan yang tunggal, melainkan
berlandaskan pada sekumpulan keyakinan. Ketika keyakinan-keyakinan yang saling
berkaitan digabungkan terbentuklah sikap.
Ketiga, sikap
bersifat relatif menetap. Pada dasarnya sikap itu relatif stabil dan sulit
untuk berubah. Namun demikianbukan berarti sikap tidak dapat diubah. Kita dapat
melakukannya dengan cara terlebih dahulu mengubah keyakinan (atau juga nilai)
yang mendasari sikap seseorang.
Keempat, sikap
merefleksikan komponen behavioral dari keyakinan-keyakinan individu. Sikap merefleksikan
kombinasi keyakinan sekitar objek atau situasi yang merepresentasikan
kecenderungan untuk merespons. Begitu kecenderungan terbentuk maka ia akan
memandu perilaku kita ketika menghadapi objek sikap yang sama.
Dari uraian di atas
kita melihat betapa sikap memiliki keterkaitan yang erat dengan keyakinan.
Dengan demikian, sikap memberikan warna pada persepsi dan interpretasi kita
tentang objek sosial tertentu.
c.
Nilai
Secara sederhana,
nilai adalah sesuatu yang ideal yang dikehendaki baik secara personal maupun
sosial. Nilai membimbing sikap atau perilaku seseorang atau masyarakat kepada
sesuatu yang mulia yang diyakini menjadi tujuan akhir tindakan. Rokeach
(Perloff, 1993) membedakan nilai menjadi dua yakni terminal values dan
instrumental values.
Jenis nilai yang
pertama berkaitan dengan ukuran tujuan akhir yang didasarkan pada eksistensi.
Nilai seperti ini biasanya diwujudkan dalam pernyataan singkat seperti
kebebasan, keadilan, kesejahteraan, kemajuan dan persamaan. Sementara jenis
nilai yang kedua adalah nilai instrumental. Nilai ini berkaitan dengan cara
bertindak yang diharapkan dari seseorang atau masyarakat dalam kerangka
terminal values. Nilai-nilai tersebut dapat meliputi; kerja keras, pikiran
terbuka, kegembiraan, percaya diri, sopan-santun, logis, kejujuran hingga
kemauan untuk memaafkan.
d.
Kebutuhan
Kebutuhan, ujar
Morreale & Bovee (1998) adalah persepsi kita tentang kesenjangan yang ada
antara apa yang kita punyai (what we have) dengan apa yang sepatutnya kita
punyai (what we like to have), antara ‘dimana kita’ (where we are) dengan
‘dimana kita hendaknya berada’ (Where we’d like to be).
Abraham Maslow
berteori bahwa orang mempunyai hierarki kebutuhan untuk bertindak; jika ia
memenuhi kebutuhan pada satu tingkat, muncullah tingkat kebutuhan yang lain.
Bagi Maslow, hierarki itu terdiri atas lima kebutuhan manusia sebagai berikut.
1)
Fisiologis:
makanan, pakaian, perumahan, udara, air, keturunan, dsb.
2)
Keamanan
dan keterjaminan: jaminan kesejahteraan, perlindungan terhadap serangan, dsb.
3)
Cinta
dan kebersamaan: afeksi, kebersamaan dengan orang lain, dsb.
4)
Penghargaan:
merasa diri berharga dan mampu.
5)
Aktualisasi
diri: rasa pemenuhan diri, kontrol atas lingkungan dan nasib sendiri, dan kemampuan
mencapai sesuatu yang diharapkan.
e.
Kepribadian
Faktor terakhir yang
memengaruhi perilaku manusia adalah kepribadian. Assael
(1998) mengartikan kepribadian sebagai pola perilaku individu yang
konsisten dan relatif permanen (personality is defined as patterns of
individual behavior that are consistent and enduring).
4.
Faktor Situasional yang
Mempengaruhi Khalayak
Di samping
faktor-faktor pribadi seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan
kepribadian khalayak, pada kenyataanya, individu juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor situasional ketika mereka menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan
efek yang berbeda apabila disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil
orang. Namun bila pesan tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang
tidak terorganisasi atau kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Dalam situasi
kerumunan, seseorang menjadi mudah menerima pengaruh atau mudah atau mudah
dipengaruhi baik oleh pesan, komunikator atau oleh situasi apapun yang tidak
terduga. Pada kumpulan orang yang seperti ini maka terjadi apa yang disebut
propagation effect (efek perambatan) dimana reaksi yang muncul sifatnya saling
menguatkan dan merambt secara cepat. Dengan kata lain, mereka cenderung akan
memunculkan reaksi yang kuat dan seragam.
Ada tiga hal yang dapat
menjelaskan hilangnya batasan-batasan yang jelas dalam kerumunan:
1.
Pendistribusian
tanggung jawab terjadi di anatar banyak orang, tidak pada satu orang;
2.
Adanya
sesuatu yang mengalihkan perhatian semua orang, sehingga mereka tidak dapat
berpikir jernih dan melakukan pertimbangan tertentu terlebih dahulu;
3.
Hasilnya
adalah perbuatan pada perilaku orang-orang tersebut menjadi perilaku kerumunan
sebagai perilaku normatif bagi mereka.
Seseorang yang berada
dalam kerumunan massa tidak dapat melihat dan menindaklanjuti semua kejadian
dengan objektif. Bahkan orang itu akan lebih mempercayai informasi apapun yang
ada dalam kerumunan tersebut, dari pada informasi yang telah dibuktikan dengan
pengalamannya sendiri.
Maraknya aksi
demonstrasi mahasiswa sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, sering kali
memakan korban baik di pihak keamanan maupun dipihak mahasiswa sendiri. Hal ini
dipicu oleh terjadinya bentrokan fisik sebagai momok yang ditakuti oleh kedua
belah pihak. Mahasiswa yang menyandang sebutan insan intelektual, tiba-tiba
bereaksi seperti anak sekolah yang gemar tawuran. Di sisi lain, aparat keamanan
yang sebelumnya dilatih untuk mengikuti prosedur pengamanan tertentu secara
sistematis, seolah-olah menjadi bodoh dan lupa dengan segala yang dipelajarinya
selama pendidikan. Setiap orang seolah kehilangan identitas dirinya dan
bertindak menurut pemicu awal yang muncul dalam kerumunan tersebut. Hasilnya,
pemicu awal yang negatif akan memprovokasi keseragaman tindakan negatif pula,
dan terjadilah kekacauan dan kekerasan yang memakan korban jiwa.
5.
Khalayak Komunikasi Politik yang
Ideal
Baik dari sudut
pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi terdapat persamaan
gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara ciri itu adalah
bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk mengikuti
perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses komunikasi
dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi, interpretasi,
dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk berlangsungnya
komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai akses informasi
yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun melalui media massa.
Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan rasa ingin tahu atau
rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyarakat dan negaranya. Dalam hubungan
ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat mengikuti perkembangan politik
dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu mereka itu telah terlibat
dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik dalam arti luas
ditetapkan.
Kemauan anggota
masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan suatu tingkat
keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup suatu rasa
kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus rasa
kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan politik
dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang terbatas.
Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi tidak
akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan keadaan
dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi kewargaan
negara.
Memang dapat dipahami
mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih sangat sedikit ditemukan pada
masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh. Karena itu untuk sampai pada
keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu harus dipenuhi berbagai
persyaratan. Di antara faktor yang menentukan adalah, tingkat kehidupan sosial
ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai, pengenaan media, dan
tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti apakah terdapat iklim
sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut serta dalam gerak
perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya,
berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan
erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan
proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus
berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis
issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka
dalam proses politik yang berlangsung.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Khalayak adalah
sejumlah orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi politik
segera setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo berpandangan
jika opini publik adalah abstraksi dari khalayak komunikasi poliitk (Dan Nimmo,
2010). Khalayak sering diartikan sebagai masyarakat luas atau kadangkala juga
disebut sebagai publik.
Publik dibedakan
menjadi tiga berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik. Yang
pertama publik umum (general public), kedua, publik yang penuh perhatian
(the attentive public) dan yang terakhir elit opini dan kebijakan (the
leadership public).
Ada dua perspektif
yang dapat digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya. Yang pertama
disebut perspektif individual dan kedua adalah perspektif sosiokultural.
Perspektif individual melihat khalayak sebagai individu yang memiliki pandangan
pribadi tentang dunia berdasarkan karakteristik personal yang dimilikinya,
sedangkan Dalam perspektif sosio-kultural, khalayak sebagai produk budaya,
dimana faktor-faktor di luar dirinya (faktor eksternal dan situasional) sangat
memengaruhi respons dan perilaku yang muncul.
Dalam mempersepsikan
dan merespon suatu pesan, misalnya pesan politik. Banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi khalayak. Faktor itu bisa berupa faktor yang berasal dari individu
khalayak ataupun faktor yang timbul secara situasional. Faktor-faktor pribadi
itu seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan kepribadian khalayak.
Individu juga dipengaruhi oleh berbagai faktor situasional ketika mereka
menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan efek yang berbeda apabila
disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil orang. Namun bila pesan
tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang tidak terorganisasi atau
kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Disini bisa
disimpulkan jika khalayak komunikasi politik merupakan publik yang kompleks dan
heterogen. Hal ini bisa dilihat dari segmentasi khalayak komunikasi politik
yang dibagi kedalam beberapa kelompok. Jadi, pemahaman mengenai khalayak dan
segmentasinya merupakan sebuah modal dalam melakukan kegiatan komunikasi
politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi
Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Venus, Antar.
2009. Manajemen Kampanye. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://adiprakosa.blogspot.com/2010/04/kompol7.html (diakses pada tanggal
11-03-2013)
No comments:
Post a Comment